awangemawanyangrupawan

Monday, December 04, 2006

Penerbit dan Kekuatan Sebuah Merek
Oleh : Wiku Baskoro

Kata merek tentu sudah sering terdengar oleh telinga kita. Kata itu selalu disertai oleh gambaran mengenai suatu benda, suatu produk tertentu. Sebagian dari kita mungkin tidak menyadari bagaimana pentingnya sebuah merek. Bagi mereka, merek hanyalah nama yang mengingatkan suatu barang yang sewaktu-waktu kita beli. Dan fungsinya hanya untuk mempermudah belanja saja. Bagi konsumen, mungkin pendapat ini cukup. Tetapi tidak bagi produsen, sebagai yang mempunyai merek tersebut.

Merek merupakan aset yang menciptakan value bagi pelanggan dengan memperkuat kepuasan dan loyalitasnya (Hermawan Kartajaya, 2004). Merek adalah nyawa dari produk yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan. Merek adalah segala-galanya. Bayangkan saja jika Anda memiliki sebuah merek, dan merek produk Anda ini sangat laku dipasaran, lalu sebuah kasus (negatif) menimpa merek Anda, kemudian penjualan menurun. Semua usaha promosi dan public relation sudah dijalankan. Penjualan tetap tidak beranjak dari titik rendah. Apa yang terjadi? Merek Anda sudah tidak dipercayai lagi oleh konsumen. Setiap kali konsumen mendengar, membaca merek Anda, maka persepsi mereka langsung pada kasus (nehatif) yang pernah merek Anda hadapi, walau kasus itu terjadi dalam waktu yang sudah lama berlalu. Konsumen tidak hanya melihat dari produk Anda dan kegunaannya, tetapi mereka melihat pada kredibilitas merek anda.

Demikian pula dengan usaha penerbitan. Para produsen buku pun mempunyai nama perusahaan yang digunakan sebagai merek mereka. Ambilah contoh penerbit Gramedia, Mizan, Jalasutra, Yayasan Obor Indonesia (YOI), dan masih banyak lagi nama-nama penerbit di Indonesia. Mulai dari penerbit mapan sampai dengan penerbit alternatif yang lebih lazim disebut penerbit independen. Semua mempunyai sebuah nama, yang merupakan merek mereka. Masing-masing tentu dengan atribut-atribut yang dilekatkan pada merek produk mereka. Tak jarang pula, para penerbit tersebut mempunyai lebih dari satu merek, yang merupakan bagian dari holding merek mereka. Sub merek ini berdiri dibawah holding brand yang menaungi semua sub-sub merek. Sebagai contoh Gramedia dengan KPG dan Grasindo-nya, Yayasan Obor Indonesia dengan Pustaka Populer Obor-nya. Lalu dari penerbit independen, Malka denga Pustaka Malka-nya. Banyak juga dari para penggagas penerbitan di Indonesia yang bermula dari sub-sub kecil merek kemudian berkumpul dan membuat sebuah holding brand yang lebih besar. Bahkan ada juga yang dulunya 2 penerbit berbeda, namun pada perkembangannya menjadi satu holding brand.

Mengapa para penerbit ini mempunyai lebih dari suatu nama merek? Mereka tidak sekedar meniru produk-produk consumer goods seperti Unilever yang me-leverage satu holding merek menjadi banyak merek. Tetapi, dunia penerbitan melakukannya secar sadar. Mereka mengerti bahwa sebuah merek mempunyai kekuatan tersendiri dan menjadi jantung dari perjalan bisnis mereka. Penciptaan sub-sub merek ini dilakukan sebagai antisipasi agar ciri-ciri dari jenis buku yang sudah melekat pada suatu merek tidak menjadi rancu. Sebagai contoh, untuk menjangkau pangsa pasar ABG atau anak muda penerbit YOI (Yayasan Obor Indonesia) menerbitkan buku dengan genre ABG / anak muda dengan merek Pustaka Populer Obor. Ini dilakukan karena, persepsi konsumen terhadap buku dari penerbit YOI sudah terbentuk jelas, konsumen mengidentifikasi merek YOI dengan buku-buku tentang yang bersifat akaddemisi atau non ABG / anak muda. Jika YOI menerbitkan buku yang bergenre ABG / anak muda dengan holding brand mereka yaitu YOI, maka yang teerjadi tentu akan memuat rancu karakter buku yang diterbitkan oleh hollding brand mereka. Sedangkan pangsa pasar untuk segmen buku yang bergebre ABG / anak muda terbuka luas. Maka dicetaklah berbagai buku bergenre ABG / anak muda dengan sebuah merek baru.

Kesadaran akan pentingnya sebuah merek tidak dapat dipandang sepele. Ini menjadi sangat penting. Terutama melihat perkembangan dunia perbukuan, yang di dalamnya termasuk dunia penerbitan, yang maju sangat pesat. Dengan secara langsung maupun tidak, menciptakan dunia persaingan di bidang perbukuan. Pendapat mengenai minat baca bangsa kita yang rendah, sudah seharusnya dirubah. Lihat saja, toko buku yang di padati pengunjung dan pasar buku di Indonesia, khususnya kota besar yang tak pernah sepi. Belum lagi berbagai pameran yang sudah menjadi agenda rutin. Semua ini membuktikan bahwa dunia penerbitan dan perbukuan adalah peluang usaha yang ideal. Masalahnya kini terletak bukan pada minat baca, tetapi daya beli masyarakat dan penyebaran buku itu sendiri, selain dari manejemen penerbitan.

Merek akan langsung berubungan dengan konsumen (pembaca). Ketika seorang melihat merek Gagas Media, para konsumen akan membentuk sebuah persepsi tentang: buku populer, novel, anak muda, fungky, santai, cocok untuk refreshing, dan persepsi lain yang mengikutinya. Ketika muncul nama Resist Book, pembaca akan membayangkan sebuah gambaran: radikal, progresif, provokatif.

Merek mencakup keseluruhan isi buku, mulai dari tema, desain, layout, bahkan jenis kertas yang dipilih. Lihat saja jenis kertas dari penerbit Metafor. Merek juga cenderung akan menggiring persepsi mengenai kualitas dari buku yang diterbitkan, bermutu atau tidak. Ini juga menyangkut kekuatan hiostoris yang melingkupi sebuah merek penerbitan tertentu. Dan tidak menutup kemungkinan, buku yang diperkirakan tidak akan menjadi best seller, karena di terbitkan oleh penerbit tertentu maka akan menjadi buku best seller. Itulah kekuatan sebuah merek.

Jadi, jika dunia penerbitan sekarang berkembang pesat. Banyak merek bermunculan, dan konsumen/ pembaca di buat bebas untuk memilih. Masih berani mencetak buku yang diberi merek tertentu dengan kualitas kertas, dan isi yang biasa-biasa saja?

***